Pemerintah lewat Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) baru-baru ini memperlihatkan bioetanol belum ideal dipakai di Indonesia. Sebab, bahan bakunya layaknya tebu dan jagung masih impor. Lantas, bagaimana respon Toyota?
Sebagai catatan, PT Toyota Astra Motor (TAM) merupakan keliru satu pabrikan yang menunjang dan mendorong penggunaan bioetanol di Indonesia. Bahkan, mereka juga telah sukses menguji coba bioetanol 100 prosen terhadap kendaraannya.
Marketing Planning Deputy General Manager PT TAM Resha Kusuma Atmaja mengatakan, pihaknya terbuka didalam penggunaan semua tipe teknologi, juga bioetanol. Sebab, kata dia, misi utamanya adalah kurangi emisi karbon di Indonesia.
“Kalau dari Toyota kita menyiapkan segala bentuk teknologi untuk memerangi (emisi) karbon, apa pun teknologi yang kurangi karbon kita akan fokus ke sana,” ujar Resha sementara ditemui selepas acara Green Initiative Conference di Jakarta Pusat, belum lama ini.
“Jadi justru layaknya chicken and egg ya, menanti tersedia mobilnya pernah atau infrastrukturnya pernah begitu sebaliknya. Kalau kita di Toyota apa yang sanggup dikembangkan ya dikerjakan karena role-nya ke sana, once infrastrukturnya telah tersedia maka kita telah siap,” tambahnya.
Resha meminta tak tersedia ulang pembicaraan tentang mana teknologi yang lebih baik. Sebab, output utamanya satu: kurangi emisi karbon di didalam negeri.
“Mobil kita telah sanggup E10 dan yang solar telah sanggup B35 sementara ini. Kita dengan Pertamina juga mengembangkan E35 atau B100, contohnya negara BRICS layaknya Brasil atau India itu telah manfaatkan bahan bakar layaknya itu,” tegasnya.
Diberitakan detikOto sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin menegaskan, bioetanol tidak cukup sesuai diterapkan di Indonesia. Sebab, bahan bakunya layaknya jagung dan gula masih impor dari luar negeri.
“Hari ini kita tidak memproduksi banyak etanol, kebanyakan etanol didapat dari tebu dan jagung. Kita hari ini saja masih impor gula dan jagung. Jadi sekarang kalau berkenan memaksa manfaatkan biofuel, kita wajib impor juga,” kata Kaimuddin di Gedung Kemenko Marves, Jakarta Pusat.
Disitat dari CNBC Indonesia, impor gula Indonesia capai 5,8 juta ton selama periode 2022-2023. Besaran angka tersebut mengakibatkan Indonesia menjadi keliru satu importir gula terbesar di dunia.
Sementara untuk jagung, meski impornya mengalami penurunan, tapi angkanya masih senantiasa tinggi. Jika pernah capai 3,5 juta ton, maka kini turun menjadi 450 ribu ton.